Kamis, 19 Mei 2011

Chapter 55 : Good Kid / Bad Kid

17.

Ten years in the past, there were two kids. Temenan dari kecil, hidup satu kompleks di perumahan kecil, Ibu mereka sama-sama janda, dan disekolahin di sekolah yang sama.

Edison is a bad kid, Vincent is the good kid.

Edison is the brave one, strong character, and bad temper.

Vincent is the opposite : weak, innocent, and naïve.

They share everything together : meals, toys, moment, sometimes money.

Mereka bahkan sepakat buat kerja sampingan selepas sekolah di toko sepatu. “We know we can’t afford it, but at least we can touch it anytime. Let’s pretend that we have these zillion shoes!” Ucap Vincent, sambil terkagum memasukkan sepatu baru dalam dus.

Edison malas bermimpi. “Yeah. You better hurry. Jatah stock gudang udah mau kelar nih.”

Hari ini mereka pulang awal, sekalian nerima gaji bulanan. “Gua mau kasih setengahnya ke Mami. Buat dia beli tas baru.” Bisiknya pada Edison.

“Kalo gua sih mau gua tabungin semua. Ntar ujungnya malah tengkar sama Mami yang nanya-nanya gua kerja dimana. Sekalian nabung buat uang muka kuliah fashion-design taun depan.” Bisiknya balik.

“Egois amat lu. Bad kid!” seru Vincent.

“Biarin!”

Edison menyenggol bahu teman baiknya. “Hari ini makan rotinya didepan etalase Dolce & Gabbana aja yuk. Gua bosen makan didepan etalase Lanvin.” Vincent mengangguk.

Disanalah mereka. Mengunyah perlahan setangkap roti dalam genggaman sambil melihat satu stel ‘D&G Classic Black Suit’ sambil terkagum. “To afford that, maybe I have to sell my motor-bike first.” Katanya pada Vincent.

“You have such a good taste, Ed! Gua juga mau satu. Janji ya… Someday kita beli kembaran. Pas kita umur 27, mungkin?”

“Deal!” Edison tersenyum lebar.

“Let’s go to Cartier. Gua bawa roti satu lagi buat elu. I want to feel like Holy Golightly tonight. She’s doing Breakfast at Tiffany’s. We’re doing dinner at Cartier’s.”

Edison ngakak. “For another free bread, it’s hard to say no. Let’s go!”

There were two boys. Staring for stuffs that they dreamed of. Wishing that something they could have it. Someday. Someway.

 

18-26.

It’s been a year. Edison is still the bad kid, and Vincent is still the good kid.

“Gua enggak jadi kuliah, Ed. Mungkin mau bantuin Mami cari uang aja.”

Edison shock. “Tapi elu harus kuliah! Fashion designer, that’s our dream!”

“Udah, enggak apa-apa. Gua terima takdir gua kok. Gua udah putusin begitu.” Vincent menahan tangisnya.

“Shit! Andai gua bisa bantuin elu biayain kuliah, gua pasti bantu.”

“Udah, elu kuliah aja yang bener. For a long time, you’ve been a rebel one to your Mom. Now promise me, someday elu bakal berbakti sama dia. Itu aja gua minta sama elu.”

Edison memeluknya. “Terus elu gimana…?”

“I’m a big kid. I’ll figure it out.” Bisiknya lirih.

Time flies. People changes. Edison sibuk dengan kuliah dan kerja sambilannya. Dan Vincent sibuk dengan pekerjaan shiftnya.

They never met again for years, even if they’re living on the same block. Hingga Edison meneruskan tahun terakhirnya di Malaysia. Dan Vincent merantau ke pulau lain.

They have nothing. They’re fighting for they own destiny. Only a mother’s pray that always beside them.

Time after time... Every memory. It’s all fading away.

 

27.

Keith mendengus dalam kesal tertahan. “Sorry, your credit card is refused.”

Pria itu terheran. “Limitnya habis?”

“No. This store is refusing your credit card and also your sold-shiny-ass. Dasar pecun amatir! Berani-beraninya bawa credit card sugar-daddy elu ke spot kekuasaan gua!” Kata Keith dalam hati.

“Yep. Limit anda habis. Better luck next time!” Jawab Keith enteng. Lalu Pria itu pergi sambil menggaruk kepalanya.

“Keith, black-suit ini ada ukuran buat gua enggak ya?” tanya seorang pria lainnya.

Keith menghampirinya. “Edisooon! Kangen! Setahun ngilang kemana aja?!”

Edison terkekeh. “Haha. Gua di Malaysia setahun kemarin. Nih barusan lulus kuliah.”

“Ughh! I’m so proud of you! I wannabe like you when I grow up,!”

“Haha. I’ll pray for that. Udah lama kerja disini?”

“Baru sebulan. Sementara aja kok. Tiga bulan dan baru bisa beli iPad baru. Hohoho.”

“By the way, ada enggak ini Suit-nya ukuran gua?

“Adaaa. Tinggal satu nih. Bloody time! Satunya lagi baru dicoba orang di fitting room. Aku ambilin dulu ya.”

Lama Edison tercenung memandangi dirinya dicermin itu. Tak menyangka dirinya akan sampai di level ini. Memandangi lama Black-Suit itu dengan haru.

“I’ll take it !” sahut dua suara yang keluar dari fitting room bersamaan.

Mereka saling memandang. Head to toe. Body-checking.

“Vincent…?”

“Edison…?”

“Oh no, gay-cat-fight scene? Dolce versus Gabbana! Oh no!” Keith tambah heran ketika mereka malah berpelukan kemudian.

“We will take it!”

Keith memasang senyumnya lebar. Double transaction, double bonus. “D&G loves you guys!”

--

Dua pria dewasa itu mengunyah mini-bun mereka didepan etalase Cartier dalam balutan black suit yang mereka beli barusan.

“Where have you been?” pandangnya nanar.

Vincent tertawa kecil. “Di Kalimantan. Gua sekarang boss Mie Singkawang lho. Buka franchise dimana-mana. Ntar makan ditempat gua ya. And you, how have you been?”

“Just signed my contract as creative director di Insane-clothing line.”

“Wow, that’s huge!”

“Yep. Nothing’s stronger than a mother’s pray.”

“I’m so proud of you, Vince. You’re always the good kid.”

“So do I. Thanks for being the bad kid, and fighting for what you believe in.”

“Don’t you love that Cartier Steel-watch?” tanya Vince.

“Let’s make another promise. Shall we buy it next three years? The same date?”

“Abso-fucking-lutely.” Jawab Vince.

“Haha! Now who’s the bad kid?!”


by.C

1 komentar:

Anonim mengatakan...

so sweettt!!! love it!