Sabtu, 15 Januari 2011

Chapter 43 : MOUTHGASM

3rd January 2011



I
t happened two days ago waktu enggak sengaja ketemu temen saya, Jasper, di coffee-shop.
“Happy new year! May you have prosperous year!”
“Happy New Year! I think I’m bisexual.” Bisik dia ketika saya memeluknya.
“Aren’t you gay?” tatap saya balik.
“Kenapa? Turun kasta ya?”
“Jasper, I don’t believe in bisexual and
versatile. As confusing as thinking why isn’t the number 11 pronounced onety one.”
Kami duduk berempat jadinya.
-

“Hi Cyrus. I think I’m bisexual.”
Cyrus ternganga sebelum dia sempat mengucapkan happy NY.
“Hi Keith. Happy New Year! I’m bisexual.”
Keith hampir menumpahkan hot dark-mocha nya. Tercekat.
“Can you stop bragging bout your new sexual preference? Elu itu bangga atau gundah galau gulana sih?” lirik saya sinis.
-

“Emang kenapa? Elu diapain cewe mana sampe bisa jadi begini? Ga suka deh ah!” I know Cyrus has been eyeing on Jasper for a long time ago. Jasper’s kinda hot, though.
Jasper berdehem panjang. Entah darimana dia akan memulai ceritanya.
“Have u ever enjoyed boobs?”
Kami bertiga mangap bersamaan.
“Eh? Boobs? That bouncy stuff? That itty bitty meats.” Tanya Keith lagi sambil bergidik ngeri.
“Rasanya kaya makan koyor sapi kali ya. Atau kepala ubur-ubur? Kenyal-kenyal tawar. Duh jadi mati rasa ngebayanginnya.” simpul saya.
Saya jadi enggak enak ati mendeskripsikan hal barusan setelah ngeliat Keith memuntahkan kembali sandwichnya.
“Taun baru macem apa sih ini ah, bahas ginian! Elu juga Jas, perlu ya bangun pagi tiba-tiba ngidam pengen ngenyot gituan? Ntar gua kirimin sapi. Ngenyot sampe poasss sambil gelayutan dibawahnya.” Geez, Keith!
“Emang rasanya kaya apaan, Jas?”
Dia tergagap. “Errrr.. Enak. Ketagihan. Sampe gua minta lebih.”
“Lebih gimana?” Mata Cyrus menatap nanar, ikut gundah.
“Gua licking bawahnya dia.”
Brakkk! Dia berdiri tergesa sampai terantuk sudut meja. “Call me when u guys are done with this yucky topic!” Dan Cyrus ngeloyor pergi dari Coffee-shop.
Kami terkekeh. “Omigad! You are bisexual!”
“I knowww!” teriaknya girang.
Yaoloh, ini bukan ucapan slamet, sayang!

-
“Jadi elu sekarang lebih suka Mrs. Cheerful daripada Mr. Happy?” tanya Keith.
“Anggep aja variasi.”
“Enak ajeh! Gua anggepnya itu pengkhianatan, you know!” sahut saya.
“Engga cuma cewe yang punya itu lubang. Kita juga punya! Keith, buka puser elu, liatin tuh glory-hole elu satu-satunya yang masih rapet!” Hehe. Ditoyor dah.
“This mouth is made for Mr.Happy. It sucks, it blows, and it swallows every liquid. Ga bisa ya setegas gua?”
“But mouth doesn’t have gender.” Katanya pada Keith.
“Bener juga sih. Damn you bisexual creature... Now you speak bilingual.” Kata saya dan Keith.
-

“Cyrus lagi single ga? Mau dong…”
“Jangan.” Kata saya.
“Kenapa? Gua kan bisexual. Masih bisa sama cowo juga.”
“Ntar kalo elu nempong dia, elu jadinya TriSexual. Soalnya dia SheMale. Beda cerita ntar. Elu tambah gundah gulana.” Tutup Keith.
Bahahaha! Untung anaknya enggak disini.

By.C

Selasa, 04 Januari 2011

CHAPTER 42 : Retail Therapy.

30 December 2010


Herbert’s Choices.

Golden Brunette. Dark Chestnut. Platinum Brown.

Military jacket. Knitted cardigan. Plain-grey sweater.

Cesar Salad. Russian Salad. Waldorf Salad.

Tall. Grande. Venti.

-

Dan Herbert masih semangat memasuki satu persatu toko dalam mall itu. Saya melenguh sambil berjalan dan menyeruput Caramel Chip saya.

“Too little time, too many choices.” katanya dingin.

Kenyang. Cape. Kembung.

Jahanam bener ini bencong. Minta dikelitikin selangkangannya! Patah hati gara-gara ulah sendiri, abis itu ngajak jalan ke Mall dari siang sampe malem.

Kami memasuki toko brand besar itu. “Money never sleeps, dude?”

“Gesek teroesss! I call it retail therapy!”

I really enjoyed window-shopping with Herbert. Saya Window, dia shopping. Sialan bener deh. Lumayan lah daripada suntuk dirumah.

I mean… He bought everything he tried on!

Untungnya dia cukup gentle buat bawa tas belanjaannya sendiri sesudahnya.

I’m not jealous; I just think he’s insane.

“This Tom Ford aviator shades’ looking good on my face. Warnanya nyatu sama warna rambut chestnut gua sekarang. Ambil ga?” saya mengangkat bahu. He takes it as a ‘YES’.

In the end of the day, Herbert, dengan tangan penuh shopping-bags dan hair-do barunya. Nangis keras diparkiran mobil. Then I hugged him very tight, in casual way.

“It’s gonna be okay… ssshht…”

 

The Ugly Shirt.

Besoknya saya bangun gara-gara telepon subuh dari Herbert. “Chris. Inget waktu di butik RushyRush gua beli sleeveless shirt rumbai-rumbai kuning itu?”

“Masih jam lima pagi, dan gua masih tetep nganggep elu gila kenapa elu mau-maunya beli itu baju. Avant-garde kaga. Messy-Rock juga kelewatan messy-nya. Mahal pula!” pekik saya. Hoahhm…

“Duh.. Gua salah beli deh kayanya.”

“Mau gua tambahin? That Orange-loafers! Golden-shiny harem pants! Terus ngapain juga elu beli fury-coat? Mau elu pake kemana?”

Herbert kaku kayanya disana. “Yauda, ntar temenin gua balikin beberapa baju yeh… Gua jemput jam duabelas siang.” BANGKE!! HEPI NGAJAK-NGAJAK, MALU JUGA NGAJAK-NGAJAK!

“Terus ngeliat elu nyoba baju lagi? Beli baju lagi? Traktir gua sepaket sushi!”

“Sushi-me?” godanya. Ewwww.

Saya masih inget semalam dia sesenggukan di mobil. Nyeritain gimana dia kena batunya sendiri : ditinggal orang yang awalnya mau dia mainin.

Herbert. Umur 20 tahun. Aktif. Ceria. Komunikatif. Multitasking (skip these bullshit!), punya kebiasaan buruk:  Nerima semua orang yang deketin dia buat melangkah lebih jauh masuk perangkapnya.

Semuanya dicoba. Semuanya digantungin dan ditaruh seenaknya abis dicoba.

Enggak jelek, enggak cakep. Semua dicoba. Kaya dia coba baju aja.

Akhirnya orang yang berhasil buat dia lumer ninggalin dia dengan makian setelah tahu kalau dia bukan ‘brand’ satu-satunya yang jadi favorit Herbert. “Sekarang gua tahu rasanya ditinggal mati Alexander McQueen. Sakit!!”

Ini anak enggak ada maksud jelek sih. Cuma kemakan prinsip Cyrus aja kapan hari. “When you’re in the candy shop, try every candy! Lollipop, stick candy, Chocó bar, even the sour plum candy.”

Saya meringkuk dalam selimut. “Yaelah, Bert… Abis ini berhenti mainin orang deh.”

“Maksudnya?” ini anak kayanya bener-bener enggak ngerti kalo dijelasin harfiahnya.

“Gini ya… Anggep dia itu sepotong baju. He’s shiny silk fuchsia tee-shirt, hanging on the rack at a men’s boutique. He’s not the shirt you wanted. Not even your style!!  But you keep trying it on. Bahkan elu beli malahan! Akhirnya elu enggak pake!”

“Yes... I did that, like… a lot!” Nah! Kena! Ngerti juga nih dumb-dumb.

“Then please. Stop doing that! Kalo mantep, baru coba. Okay?!”

Herbert diam sejenak. “Am I that lame?”

“Elu itu bisa beli semuanya. But my dearest, money can’t buy sense of fashion.”

Dia terkekeh. “That’s why I need you guys as my eyes and ears. Entar gua ajak Cyrus sama Keith juga deh. Gua traktir sushi dah! Jam dua-belas ya! Daaagh!” Klik.

-

I can’t stop wondering after since. “Did I just compare men and clothes in the same context?” Not so meeee. Hohohohoo!

Too many choices could be good or bad.

Good if you can manage yourself and already know what you want, and bad if you don’t even know what you want then keep choosing.

Making decision is not as easy as it seems. It needs brave, courage, sweat, even tears. Dan harus ada beberapa orang yang terluka setelahnya.

Do I need some retail therapy also and get some ugly shirt to cover my untold emptiness?

Na-ah… I better being naked in my own bed and sipping my morning-coffee.

By.C