Rabu, 20 April 2011

Chapter 52 : Straight to Hell


Stairway to Heaven.

Cyrus jadi lupa rasanya nge-date. Lupa rasanya diajak ketemuan pertama kali. Lupa rasanya semua RASA. “Oh shit! It’s been one frickin month! I’m re-virginized! Totally!” pekiknya.

Mulai deh polah girangnya : buka Grindr sejam sekali, cari mangsa baru di FB, sok-sok retweet orang yang bahkan belum dia follow di twitter. Bahkan nongkrongin Manjam berlama-lama sampe subuh!

“Kemana aja elu?” seloroh Keith sambil makan kwaci.

“Berkutat sama diri sendiri… Huhuhu.” Tepatnya berkutat sama tugas-tugas training masa akhir kuliah, sih. Bener-bener puasa ini anak.

“Lu bayangin… Me! Pretty boy in the unlikeliest place, surrounded by the unlikeliest people! Ga lagi-lagi deh magang di pabrik kwaci!” Yawn. Told ya so!

Cyrus terus ngomel. Dan lidah kami cenat-cenut ngupas kwaci asin oleh-oleh dia. Aseekk…!

Engga tau gimana caranya, semenit kemudian ini anak akhirnya dapet date buat hari jumat!

“Praise to Grindr…! I’ve seen the bright light!” ciumnya ke blackberrynya.

Pantesan aja! Status grindr dia aja tulisannya “I’m up for any kind of date!”

Keith merebutnya, penasaran bakalan kaya apa calon date besoknya. “Errrm… No pic? Dear? Hellaaah?”

“Udah deh ya! Anggep aja blind date! Lagian di chat grindr, bilangnya dia discreet banget. You know lah, discreet people are mostly hot!”

Keith dan saya mengangkat bahu. Tanda peduli tapi juga ga peduli-peduli amat sih. “Yeh.”

“Blind date for me is… Elu dikamar, gelap-gelapan, tau-tau sama-sama ngejen nahan orgasme. Bukan ibarat beli baju di online shop!” saya terkekeh sama komentar Keith.

“Shuddup you cynical creature!”

Malam itu Cyrus girang setengah mati.

Jadi inget rasanya deg-degan. Jadi inget rasanya senyum-senyum sendiri nunggu balesan sms. Jadi inget rasanya mukul-mukul bantal gemes pas dibilang cute. Bleh!

“I’m in heaven!” tweetnya sebelum tidur.

 

Highway to Hell.

Sushi bar. Table for two. Here they are!

“Why are you dressing like that?” kata dia sebelum duduk. It should be ‘Hello there’ first, you stupido!

Enggak ada yang salah sama Cyrus. Dia cuma pake black skinny jeans, black loafers, sama V-neck shirt warna kuning yang kedodoran. “Like what?” tanyanya heran.

“Harus ya pake skinny jeans?”

Okay, this man is kind’a hot. Cyrus merasa harus menahan emosinya dan enggak tertarik buat mengkritik balik preppy look dia. “At least I’m trying to make an effort : dress properly. Unlike you.” Serius deh, ini orang dijamin abis pulang ngantor, tiduran bentar dirumah, terus langsung kesini. Enggak ada usaha dandan dikit.

“I hope you’re straight acting kinda boy.” Lalu dia duduk.

Setengah jam kemudian mereka seperti perang mulut kecil-kecilan sambil makan sashimi. “Harus ya rambut kamu diwarnai cokelat tua begitu? Modelnya juga kaya celeb korea punya.”

“Harus ya rambut kamu disisir ngebosenin ala sales kwaci begitu?” balas Cyrus.

“Pasti kamu enggak nge-gym ya? Skinny banget.” tanyanya lagi.

“And you do?” Cyrus melirik pinggang kiri kanan pria itu yang kadung muntah dari celana katun hitamnya.

“Saya ini discreet loh. Baru coba-coba aja. And I’m not gay. I’m just curious.”

Cyrus menjatuhkan sumpitnya. WHAT? “Yeah right. Rasanya semua orang sekarang discreet ya? Btw, I’m not gay. I am super gaaa-eyh.”

Pria itu gantian menjatuhkan sumpitnya mendengar Cyrus sedikit melengking diujung kalimatnya. “Kamu sissy begini ya kesehariannya.”

Cyrus mangap. “Kamu selalu straight-acting begini ya?”

Pria itu mengangguk. “Selalu. Emang ada tulisan I AM GAY di jidat saya?”

“Listen to me, you rat! If you want a straight acting one, you will find none. I’m not straight and I am not acting. Just a regular gay boy!” pekiknya. Sampe meja kiri kanannya pada noleh.

Pria itu mulai kelihatan panik, berbisik pada Cyrus. “Here’s the thing. I just need sex tonight. That’s all. Jadi sekarang, bisa kita keluar dari tempat ini dan ngamar? Your place or mine?”

Cyrus berdiri melempar limapuluh-ribuannya ke meja. “Both. You go to yours, and I’ll go to mine.”

Dia melongo melihat Cyrus berlalu. Sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, Cyrus menoleh sebentar kearahnya sambil berteriak. “Thanks for the date! I like your damn gay attitude. My middle finger salutes you!” acungnya gemas.

--

Saya meluk Cyrus yang sesenggukan malam itu di coffee shop. “Udah dehh. Makanya elu enggak usah pongah gerah begitu. Kalo enggak ada date ya udah loh… You know the rule kan? Stop chasing and everything will chase you back! Cup..cup…cup…”

Keith masih megunyah kwacinya. Yaudalah, lagian belum ada kasus gendut gara-gara makan kwaci. “Why there’s a stairway to heaven and highway to hell?” tanyanya tiba-tiba.

“Cuz apparently more traffic going to hell.” Jawab Cyrus asal. Tapi bener juga yak!

“Then where am I going when I die? Gua kan straight-acting!” Keith pasang muka serius.

“Straight? Straight to hell, kalo elu! But wait, Hell is full; you’re sent back to earth. And here you are now!” saya lempar kwaci ke muka dia.

“HAHAHA!”

 

by.C

 

Rabu, 13 April 2011

Chapter 51 : In The Dark.


Martin.

What if your current relationship doesn’t go well?

Maybe Martin knows the answer. This 24 years old guy is standing. Standing alone in the dark. Didekat ranjang kekasihnya yang tertidur disana.

Sudah berminggu-minggu Martin bangun tepat jam tiga subuh. Pergi pipis ke toilet sebentar, lalu keluar dari sana. Berdiri agak lama memandangi ranjang sunyi itu. Sambil kemudian berakhir tersandar di sofa. Tertidur. Sampai pagi. Sampai dia tidak tahu hari apa pagi itu.

Terkadang dia menangis tanpa suara disofa itu. Perih. Kelu. Menggigil namun tak bisa apa-apa.

Pernah dia keluar dari kamar. Mengelilingi satu blok dalam balutan piyama tipisnya. Sendirian. Terkadang ditemani anjingnya, si Jack.

Pernah dia sampai tertidur didalam toilet, atau di bangku teras depan.

Pernah dia tertidur dengan laptop menyala, buku terserak, atau kadang seember Baskin menganga disebelahnya.

Martin has no clue. Martin has no words. Martin feels like… He’s not alive!

“Pernah elu ngomong jam tiga pagi ke ranjang elu.. : what the hell am I doing here?” ketiknya pada messenger saya.

“I have no idea.”

“Pernah elu bertanya-tanya… : Gua ngapain aja selama ini? Setahun ini? berpura-pura?!”

Saya makin engga ngerti Martin ngomong kearah mana sebenernya. Ditanya apa problem dia, jawabannya “I don’t even know what’s going on here!”

Tapi karena dia teman baik saya, ya sudah, sebatas nemenin dia chat aja. Mumpung saya juga udah resmi jadi mahluk nocturnal.

“Martin… Kalo elu ngerasa not alive anymore, why don’t you let it go? Why don’t you taking chances? Why don’t you decide? Why don’t you ... be brave?”

Martin enggak pernah ngasih jawaban yang memuaskan kalo ditanya ini. Ya sudah, saya bisa apalagi coba?

“Udah hampir jam lima. Gua balik ke ranjang dulu ya.”

“Okay. TTYL dear.”

Martin berhenti menderapkan kakinya. Berhenti sekitar semeter dari ranjang itu. Sambil memandangi wajah kekasihnya disana. Polos. Tak pantas disakiti. Dan tentunya membuatnya kadang bertanya. “What the hell am I doing… in this relationship?”

Martin sudah berbaring disebelahnya. Membelai alis tebal pria disebelahnya dengan lembut. Dia berusaha menahan sekuatnya gumpalan air mata yang hampir tumpah… sambil berbisik. “I don’t love you anymore…”

There. He said it. In the dark. In silence. To anonymous.

 

Morrison.

What if you don’t want anything moving to the next level?

Ask Morris. He knows what the answer is. This 25 years-old guy is now standing. Standing alone in the dark. Sambil memandangi ranjang milik pria yang baru dikenalnya semalam tadi.

Butuh sepuluh menit untuknya berkemas dalam senyap, menata ulang rambutnya, memakai rapi pakaiannya lagi, sambil kemudian pergi. Menghilang tanpa meninggalkan jejak bahwa dia pernah disitu.

Sebentar. Morrison harus berputar balik sebelum dia benar-benar menutup pintu depan. Lalu dia ke ranjang itu lagi, sambil menaruh selembar seratus-ribuan didekat meja dan berbisik ke telinga pria itu. “You bought me a drink doesn’t mean you can buy me for a night. Thanks for the great sex.”

Morrison melenggang dalam dingin malam itu. Tersenyum sendiri sambil menyeruput pelan CHEAPpuccino panas murah yang barusan dia beli di toserba 24jam seberang apartment barusan.

He’s broke that night, but at least he’s not going to break any heart in the future.

“I gotta admit, that’s classy!” pekik saya ke dia.

“Yea. Hope I don’t see that guy anymore. He’s sooo gonna kick me in the ass.”

Morrison pernah cerita ke saya. Siapapun yang pernah deketin dia, ujungnya dia sendiri yang menghilang. Kenapa? Karena dia tahu dia enggak bakal sukses dalam suatu hubungan serius.

“I tell you what, I’m not good to maintain people and I’m not into drama. So… Here I am. Free as bird.”

Dia berbisik lagi. “Don’t play with fire if you don’t know how to stop it. Or you will get burn.”

Noted. =)

 

Martin & Morrison.

Kedua pria itu berdiri berseberangan. Bugil. Saling sibuk bertanya dalam hati mereka, dalam kegelapan.

“Kamu mau kemana?” tanya Martin yang menangkap sosok Morrison hendak beranjak dari tempat itu.

“It’s one night stand. And this is your house. So… I have to leave before your official partner back in.”

“He’s not gonna back for two days. Don’t worry.”

“Kamu sendiri kenapa bangun jam tiga begini?” tanya Morrison balik sambil memakai boxernya.

“Abis dari toilet. Merenung. It’s my routine, bangun jam segini. Thanks for the beers by the way.”

“No problem. Hand me over my jeans, if you don’t mind?” pinta Morrison.

Martin mendekatinya. Menatapnya dengan mata basah. “Can you stay any longer? I’m afraid I can’t survive tonight.”

Disitulah mereka. Dengan jarak beberapa senti saja. Tiada yang melekat, hanya saling bertanya. Saling menerawang apa yang sedang terjadi.

“Are you okay?”

“I’m okay. I just don’t know what’s going on here.” Sendunya.

Morrison membuka kembali kemejanya. Memeluk erat untuk menenangkannya. “I know you’re not okay. But you have to know, everything is gonna be okay. Every drama has an ending. Sshh…”

Malam itu mereka tidur saling berhadapan. Hal yang tak pernah dilakukan keduanya dalam waktu yang lama.

Dalam pekat gelap malam itu, tak ada lagi ketakutan. Tak ada lagi prasangka. Tak ada lagi duka. Yang ada hanya rasa ketergantungan yang terasa baru bagi mereka.

Dan mereka terlelap hingga pagi. Bersama. Tanpa sekat. Dua ironi dalam satu ranjang.

Paginya mereka terbangun. Sambil kemudian berpisah, dan melanjutkan malam lain untuk tidur berhadapan punggung dengan sosok lainnya.

 

By.C

Selasa, 05 April 2011

Chapter 50 : Little Black Book

1st March 2011

 

Five Kiss Marks.

Noah mengambil langkah pertamanya dengan pasti. Tanpa berkelok, lurus dan hentakannya mantap. “Are you gay?”

“It’s a gay bar… That’s one silly question.” Jawab pria tinggi itu dengan tatapan terpana.

“No. I mean… Are you gay enough to fuck me?” tanyanya lagi.

“You gay. I’m gay. We’re made for each other.” Dia melingkarkan tangannya ke perut Noah.

“Gimme your phone number, I’ll bump into your place another night.”

He got it! SNAP SNAP! That easy?

Tissue bertuliskan nomor telepon pria itu dikibaskannya kearah kami.

“I love your Spiked High-Top Sneakers. Are those Louboutin? Cuteee!” teriak kecil pria itu.

Noah berhenti melangkah, mengangguk membelakanginya sambil mengacungkan jempol kepadanya, lalu berjalan lagi ke arah kami.

---

Keith memekik. “Ouchh menn! U did it!!” dan kami terpana pada hal barusan.

Just like that? I still need to pray, scratching my balls, and BIG guts to do that kind of thing!

Lalu Noah duduk di sebelah kami, mengambil tas kulitnya sambil kemudian mengeluarkan buku hitam kecil. Dia membukanya, kami menyaksikannya.

“Yang tadi namanya Bruno. And he’s a bottom in disguise.” Ujarnya sambil mengcopy nomor dan nama itu pada halaman tengah buku tadi.

“That bulky guy? I thought he’s a top! How do you know?” kata Cyrus.

“It’s a gift. Straight guys wont notice your shoes, neither top gay guy. And he’s applying lip-balm too much.” Kerling Noah.

“Bruno… Bottom. Delicious. Beefy yummy body. 085740020xxx. Next round baby! Two Kiss marks out of five!!” tulisnya dalam kolom itu.

“Apaan tuh, Noah?” tanya saya.

“My little blackbook.”

Jadi kata Noah, di Little Black Book itu dia tuliskan semua nama pria yang pernah ada di hidup dia.

Dua puluh halaman depan untuk pria yang pernah serius atau paling tidak pernah ‘having intimate moment’ bersama dia. “Semua yang disini purely top, decent, high-qualified. First class, baby!” kata dia.

Dua puluh halaman di tengah untuk pria yang belum kepake dan bisa dipakai kapanpun. Yang nanti-nanti-saja. Yang akan dia hubungi kali pria-pria dari halaman depan lagi enggak available. “Cadangan itu perlu. Kalo enggak ada red wine, cheap-liquor juga boleh!” jelasnya lagi.

Dua puluh halaman di belakang? You already know, pastinya. Yang ini buat ditulisin nama-nama pria yang harus dihindari. Dangerous, maniac, fucking-ugly, annoying and morons. “Black-list pokoknya. You wont even open those last pages.” Cegahnya pada Cyrus.

Saya tercenung… Lamaaa. “Are you a sex maniac?” tanya saya.

Noah ngakak. “That’s harsh. Lets say, I don’t fuck any guy twice. Having sex with the same guy is like having an iPod with one song. Over and over. BLEH!”

“Just sex? No serious relationship?” tanya saya lagi.

Noah menenggak appletini-nya. “Hon, sex is not the answer. Sex is the question, and YES is the answer.”

Saya meringis. This guy ROCKS!



The VERY First Page.

Noah menenggak appletini ketiganya, dan kami sibuk melihat halaman per halaman buku itu. “Omigad! Elu pernah sama Billy?” tanya Keith antusias.

“He’s good in bed, right?” Keith mengangguk geli mendengar review sang mantan.

“Elu nge-blacklist Mike?” kali ini Cyrus yang bertanya.

“Ahh that big-ego guy. My middle-finger is longer than his dick. Now you know why I put his name on the last page.” Cyrus menggaruk pipinya. Itu kan mantan Cyrus. Hihihi.

Saya membuka halaman paling depan. Satu halaman cuma satu nama? Pake tinta biru pula. “Siapa tuh Anderson Wang? Five kiss marks.”

Noah menghentikan tegukannya. “He’s the blue whale.”

“Maksudnya?”

“You know… I think he was the only guy that ever said NO to me…”

Seriusan? Si Noah yang secuakeeep ini pernah ditolak juga?

“Udah pake segala cara, udah pake segala rayuan. Bahkan gua sampe belain ngatur dinner berdua sama dia, but he never came up!” umpatnya.

“Yea! Anderson is one big slick fish. Hard to get, even harder to catch!” tambah Keith.

“Are you giving up?” tanya saya lagi.

“Me? Giving up on this guy? No way! Makanya itu gua taruh di halaman pertama banget, biar gua termotivasi. Jiwa gua bener-bener penasaran deh kalo sampe mati engga dapetin dia.” Noah mulai berapi-api.

I’m starting to think to have my own little black book. Bukan buat nyatet hal-hal yang kaya Noah lakuin ya. Tapi buat nyatet track record saya yang sudah mulai menggila belakangan. Biar ada rem-nya, biar enggak blong!

Yes! I’m gonna buy that goddamn empty little black book tomorrow!

“The rest is still unwritten…” senandung Noah.

---

Kami berempat kedinginan menunggu taxi di bibir gedung ketika seorang pria datang menghadap Noah.

“You’re Noah, right?” tebaknya.

“Hmmm?” matanya menelanjangi pria didepannya.

“We had sex two weeks ago.” Katanya.

“I’m sorry hunky, I always have trouble remembering three things : Faces, Name, and… I can’t even remember what the third thing is!” sahutnya.

Pria itu sambil agak kesal meninggalkan kami menuju lift.

“That was… Landon. Just a name in my little black book. Good in bed. But honey, when Carrie Bradshaw doesn’t wear anything twice, I don’t fuck any guy twice.”

Kami ngakak sambil menghisap rokok kami.

 

By.C