Minggu, 03 Juli 2011

Chapter 57 : Dynasty

1st July 2011

Suhi – 8 tahun

Suhi terbangun dengan hati kelu dan tubuh biru. Batinnya remuk tak karuan pagi itu. Bingkai foto retak masih dalam pelukannya. Pertanda apa yang terjadi semalam bukanlah mimpi. Murni elegi.

Sudah jam enam. Dia harus mandi, untuk kemudian berangkat sekolah.

Ibunya tahu-tahu sudah dibelakangnya. Mengoleskan pomade pada rambutnya sambil menyisirnya lembut dan rapi. “Maafkan Papamu ya, Suhi…” isaknya sendu.

Suhi kecil mati-matian menyembunyikan butiran pertama disudut matanya sambil mengangguk. Mencoba tersenyum kecil. Dalam pantulan kaca itu, dua sosok berbeda generasi ini menyimpan lukanya tersendiri.

“A-auw..” pekiknya pelan sambil melindungi lengannya.

“Hari ini pakai sweater dulu ya… Biar biru-biru di badan Suhi nggak kelihatan.” Kecup Mamanya, sambil kemudian merelakan anaknya berlalu diantar sopir ke sekolahnya.

“Dan maafkan Mama karena semalam hanya bisa terpaku diam melihatmu dipukuli Papamu…” lirihnya dalam hati.

 

Suhi – 13 tahun

“Mama…” raihnya dalam rintih. Terbujur di lantai dengan raut pilu. Ketakutan sekaligus asa masih tersirat dari mata lebamnya.

Rossie berulang kali menampar tubuh suaminya yang mencegahnya menolong buah hatinya disana. “Biar! Biarkan saja dia mati sekalian! Satu-satunya penerus keluarga, tapi bisanya cuma bikin malu marga kita saja! Mati saja dia!”

“Hanya karena dia mencoba memakai sepatuku? Lalu kau pukuli dia seperti anjing tiap malam?!” Rossie menampar suaminya lagi, walau suaminya tak pernah sekalipun membalas tamparan itu.

“Bukan masalah sepatu! Tapi kau tau dia mahluk macam apa?! Kau tahu itu? Dari kecil kelakuannya sudah seperti anjing betina! Mati saja kau Suhi!”

“Lupakan rasa kecewa besarmu dan harapan besarmu padanya! Biarkan dia hidup seperti yang dia mau! Kau tak berhak secuilpun atas hidupnya! Tak secuil pun!” lirihnya dalam.

“Dia puteraku! Anak lelakiku!” tambah Rossie sambil bersungut-sungut.

“Bagus kau sadar! Dan mulai sekarang, perlakukanlah dia sebagaimana kau sebut dia barusan : ANAK LELAKI KELUARGA SOE!” pekik suaminya lantang sambil berlalu ke kamar.

Malam itu hingga subuh, Rossie memeluk tubuh Suhi dalam ranjang. Menyanyikan senandung malam sambil tak henti membisikkan kalimat-kalimat insepsi.

“Kau generasi berikutnya… Kaulah harapan kami. Kaulah pewaris harta dan marga kami. Kaulah alasan kami tak dimaki leluhur kelak. Jadilah seperti yang kami mau… walau berat.” Ulangnya puluhan kali dalam bisikan kecil hingga suhi tertidur.

 

Suhi – 18 tahun.

“Mom… Do you love me?” tanyanya pada anonim. Sambil memandang Rossie yang sedang merangkai bunga disana.

Suhi sudah hapal betul jawabannya. “Suhi... Telling how much I love you is like trying to explain colors to a blind person, completely impossible.”

Atau terkadang Rossie menjawabnya dengan senyum panjang. “Trying to explain how much I love you is like trying to explain the taste of water.”

“Suhi. Kau sudah siap nanti malam?” sosok itu bertanya dingin. Tak sehangat bertahun lalu.

Suhi hanya mengangguk. “Ya Mom…”

“Sudah lupakan saja keinginanmu kuliah seni. Papamu betul, kau harus masuk jurusan bisnis. Masa depanmu sudah kami rancang. Tinggal kau jalankan.” Suhi mendengarnya tanpa jeda. Seperti kaset yang diulang berulang kali.

“Nanti malam pakailah kemeja terbaikmu. Semua keluarga besar Mama undang buat pesta farewell-mu. Lusa kan kau sudah ke London. Sudah kau siapkan?”

Suhi termenung –

Mama. Aku rindu padamu. Rindu membawakan belanjaanmu sepulang dari supermarket. Rindu melihatmu menyisir rambut panjangmu. Rindu ikut tertawa menang bersamamu ketika berhasil membuat variasi cake baru. Rindu wangimu. Itulah yang aku takutkan, kehilangan ingatanku akan aromamu. Bukan bunga, cukup aroma hangat dan membumi-mu yang kental.

Mama. Andai aku bisa mengingat jelas rupa membran yang tersobek akibat melahirkanku. Andai aku bisa mengingat jumlah bantahan yang menyayat hatimu. Andai aku bisa menjelaskan setiap kerutan pada wajahmu, disitulah memori tersimpan, cerita sedih dan bahagia karena aku. Aku takut tak bisa mengingat senyum di wajahmu. Senyum indah, tertutup rapat, namun menghanyutkan. Bukan senyuman lebar dengan deretan gigi rapi terlihat. Cukup sesimpul senyum yang terasa melegakan dan membuatku tersenyum kembali kepadamu.

Aku takut tak bisa menjadi seperti yang kau inginkan. Menghancurkan setiap mimpimu satu persatu.

Aku bukanlah sosok yang bisa memberikanmu menantu dan cucu-cucu kecil berisik yang membuatmu lebih bahagia. Bukan pula sosok fantastis yang sukses dalam berbisnis seperti Papa.

Aku bukan pria yang bisa menjagamu dengan gagah bisa melapisimu dengan benteng sempurna. Namun yakinlah, akulah pria yang mencintaimu. Anak kepada Ibunya, cinta tanpa persyaratan apapun.

Aku memimpikan masa kecilku tiap malam. Kau peluk dan kau tenangkan. Maka dari itu aku bertahan. Menunggu sang waktu menaburkan kesempatan pada kekosongan kita, hingga menghangat kembali. –

“Iya Mom…” angguknya sambil melihat Rossie berlalu.

 

Better Generation.

“What is this seminar about, once again, Mom?” tanya Keith pada Mamanya, Lilith.

“Fight for your gay son!” kepalnya semangat.

“Ah... Ring a ding-ding…” Keith mulai bosan menunggu acara tak mulai-mulai.

“Son… No matter what happen and what you do in the future, I will still love you… okay?”

“Mom… U are the kid in the family. This seminar should be titled : twisted dynasty. Atau kalau mau lebih epic, dikasih judul aja skalian : Fight for your childish-single Mom.”

“Damn u, Keith. Damn u.” Lilith menyembunyikan tawa kecil itu, tak mau membiarkan anaknya menang perang sarkas kali ini.

“Pssst. Udah mulai tuh. Keep quiet!” sahut Keith.

--

“Suhi… Anak saya, meninggal empat tahun lalu. Dia bunuh diri, memotong kedua pergelangan tangannya didepan kami satu keluarga besar pada pesta farewell itu. Nyawanya tak tertolong.” Ucap seorang wanita didepan mimbar.

“Setahun setelahnya saya merenung, bersembunyi dalam cangkang saya sendiri. Berpisah dengan suami saya walau tak bercerai. Membiarkan leluhur memaki keteledoran saya. Membiarkan masyarakat mengira-ngira apa yang terjadi sebenarnya… Pikiran saya hanya tertumbuk pada rasa bersalah yang amat besar.”

Lilith dan Keith tercenung. Begitu pula penonton lainnya.

“Satu hal yang saya sadari… Saya tak cukup berjuang untuknya seumur hidupnya. Saya menjejalinya dengan segala kenormalan yang ada di khalayak umum. Sedangkan saya sendiri tak mengerti, apa arti normal sesungguhnya. Saya… Saya membentuknya menjadi monster yang dia sendiri tak mengenalinya.”

“Kita… Dalam hidup ini, sudah banyak melakukan kesalahan. Jangan sampai menghakimi mereka menjadikan itu kesalahan paling fatal bagi kita. Berjuanglah untuk mereka, karena itulah tugas kita. Bukan memperjuangkan ego kita.”

“Saya, berdiri disini, berjanji sampai ujung hidup saya akan berjuang menyuarakan suara Suhi yang tak pernah terucap hingga akhir hayatnya. Dimana Suhi tak pernah melawan sedikitpun. Dia mengalah, tapi bukan kalah. Karena dia mencintai keluarganya. Sekarang giliran saya mencintainya penuh, tanpa ditutupi. Karena dia selalu berucap : When the world leaves, family stands.”

Lilith dan Rossie. Dua Ibu itu bercucuran air mata. “Keith... I never thought this story gonna bring your tears. Haha!”

“Moooom! Stop staring at me!” tutupnya.

Rossie melihat adegan itu sambil tersenyum. Mengangguk pada Lilith dan mengirimnya pesan gerakan bibir dari kejauhan. “Take good care of him.”

“That’s my job ;-)” sungutnya riang sambil mengacungkan jempol.

 

By.C