Minggu, 29 Mei 2011

Chapter 56 : The Leftover


The goddamn column.

“What’s your size?” saya ndomblong. Ndomblong kenapa yang barusan ga bisa masuk. Enggak muat. Too small for my hole. Too big to fit on me.

“So what’s your size?”

“Ermm… Medium aja deh Mbak. Yang Small ga muat. Tetep yang merah ya warnanya.”

“Bentar ya Koh, saya ambilin ukuran M nya. Jeans nya muatkah?”

“Sekalian 30 deh. Yang 28 kekecilan. Hehe. Thanks!”

Saya langsung tutup pintu fitting room.

--

“Ini tanggal berapa, Cy?”

“Lima belas. Kenapa?”

“Crap! I only have two goddamn weeks to loose five kilos.”

 “Yea, I can see that muffin top. Antara mau mbludag dari celana, atau minta dikenyot vacuum cleaner. Ini apaaa?!” Cyrus dengan lancangnya menggenggam pinggang saya.

“Shooh! I eat, so I wont fall in love. You shall clap for me!”

“Oh, sekarang prinsip elu ‘goodbye love, now I fall in chocolate’? Huh?”

“Ok. Judge me. Judge for eating my emotion. Judge me for not trying watch my own figure. I just don’t wanna be fatty on my birthday!”

Cyrus menggapai kaus ketat berukuran S itu. “Lolita, the most useful and effective pill to lose weight is… well… SEXCERCISE ! It burns, it helps. Make some sweat, baby!”

Mata saya memicing. “Magnificent. This desperate and single boy gotta fuck a treadmill machine tomorrow. Thanks for your hilarious advice.”

“Don’t I look sexy on this V-neck SMALL size shirt?” tanyanya menekan.

“I’ll kill u now.”

--

Okay. May 29 would be my birthday. I am so freaking out about my age. My twenty-frickin-four age. I’m aging!

I would be at “LeftOver” column.

Di kolom itu, percaya enggak percaya, berisi pria berumur 24-29 yang ‘lagi-enggak laku-lakunya’. Yang 24 kalah sama 23 kebawah. Yang 29 lagi harap-harap cemas nungguin jadi hot-hunk at his thirties.

So where do I go after May 29th? Leftover column. Fuck. Fuck my life.

“How old are you?”

“Twenty six.”

“I see I see.”

And the chat is over. Saya udah bisa bayangin hal-hal yang bakal menimpa saya.

Mau dipanggil sinyo juga enggak pantes. Mau dipanggil koko juga ga pantes. Mau dipanggil engkoh juga saya bukan juragan sembako.

Satu masalah belom selesai, sekarang malah nambah gendut! “Universe, did you just send me some messages that I would ended up miserably on my LEFTOVER ERA?”

“No. It can’t be happen to me. Damn you chocolate bar. Damn you to hell! You and your friends calories are little monsters who made my clothes smaller.” That night, I toss my last choco-bar in my trash.

 

The Bird Shit and The Bee.

“Do I have bird-shit on my face?” tanya Kevin.

“Huh? No. Why?”

“Terus kenapa semua orang ngehindarin guaa?!”

Saya ngakak. “Nooo Kev, you’re just cute. As usual.”

“No dearest. I might be cute but I’m twenty-eight. Kemarin gua chat sama orang di grindr, ternyata dia cuma nanya begini : kamu pake foto lima tahun lalu ya? Enggak percaya ah kalo kamu umur 28.”

“That’s… such a relieved!”

“That’s humiliation!”

“Kan elu dipuji awet muda..! Gimana sih?”

“Kaga! Gua marah! Marah besar! Gua maki-maki itu orang! I built this slimy-20years old-body for years. I’m using anti aging cream every night. But the point is, gua engga pernah nutupin umur gua. Gua bangga kalo gua tua! Dan dia enggak percaya!”

Saya garuk-garuk kepala. Absurd bener partner gym saya yang satu ini. Mati-matian buat kelihatan awet muda, tapi suka kalo dibilang tua. It’s a big ‘HUH?’

“Okay… So?” saya oper burbles ke dia.

“Okay so…! Gua udah sejauh ini berusaha, tapi kenapa gua masih single?! Udah tiga tahun gua single! I’m oldie, but im goodie !!”

Saya berkaca didepan kaca besar di gym. “Well honey, say hi to ‘Leftover Ville’. Population? Us.”

--

“Nyo, lu habisin tuh sisa makanan tadi sore. Sayang kalo dibuang.”

“No way. Noo. Waay. I’m the leftover already, I don’t want to eat some leftover too.”

“Huh?” Mama saya ndomblong.

Oh by the way, welcome back S & 28 size =)

 

 

By.C

Kamis, 19 Mei 2011

Chapter 55 : Good Kid / Bad Kid

17.

Ten years in the past, there were two kids. Temenan dari kecil, hidup satu kompleks di perumahan kecil, Ibu mereka sama-sama janda, dan disekolahin di sekolah yang sama.

Edison is a bad kid, Vincent is the good kid.

Edison is the brave one, strong character, and bad temper.

Vincent is the opposite : weak, innocent, and naïve.

They share everything together : meals, toys, moment, sometimes money.

Mereka bahkan sepakat buat kerja sampingan selepas sekolah di toko sepatu. “We know we can’t afford it, but at least we can touch it anytime. Let’s pretend that we have these zillion shoes!” Ucap Vincent, sambil terkagum memasukkan sepatu baru dalam dus.

Edison malas bermimpi. “Yeah. You better hurry. Jatah stock gudang udah mau kelar nih.”

Hari ini mereka pulang awal, sekalian nerima gaji bulanan. “Gua mau kasih setengahnya ke Mami. Buat dia beli tas baru.” Bisiknya pada Edison.

“Kalo gua sih mau gua tabungin semua. Ntar ujungnya malah tengkar sama Mami yang nanya-nanya gua kerja dimana. Sekalian nabung buat uang muka kuliah fashion-design taun depan.” Bisiknya balik.

“Egois amat lu. Bad kid!” seru Vincent.

“Biarin!”

Edison menyenggol bahu teman baiknya. “Hari ini makan rotinya didepan etalase Dolce & Gabbana aja yuk. Gua bosen makan didepan etalase Lanvin.” Vincent mengangguk.

Disanalah mereka. Mengunyah perlahan setangkap roti dalam genggaman sambil melihat satu stel ‘D&G Classic Black Suit’ sambil terkagum. “To afford that, maybe I have to sell my motor-bike first.” Katanya pada Vincent.

“You have such a good taste, Ed! Gua juga mau satu. Janji ya… Someday kita beli kembaran. Pas kita umur 27, mungkin?”

“Deal!” Edison tersenyum lebar.

“Let’s go to Cartier. Gua bawa roti satu lagi buat elu. I want to feel like Holy Golightly tonight. She’s doing Breakfast at Tiffany’s. We’re doing dinner at Cartier’s.”

Edison ngakak. “For another free bread, it’s hard to say no. Let’s go!”

There were two boys. Staring for stuffs that they dreamed of. Wishing that something they could have it. Someday. Someway.

 

18-26.

It’s been a year. Edison is still the bad kid, and Vincent is still the good kid.

“Gua enggak jadi kuliah, Ed. Mungkin mau bantuin Mami cari uang aja.”

Edison shock. “Tapi elu harus kuliah! Fashion designer, that’s our dream!”

“Udah, enggak apa-apa. Gua terima takdir gua kok. Gua udah putusin begitu.” Vincent menahan tangisnya.

“Shit! Andai gua bisa bantuin elu biayain kuliah, gua pasti bantu.”

“Udah, elu kuliah aja yang bener. For a long time, you’ve been a rebel one to your Mom. Now promise me, someday elu bakal berbakti sama dia. Itu aja gua minta sama elu.”

Edison memeluknya. “Terus elu gimana…?”

“I’m a big kid. I’ll figure it out.” Bisiknya lirih.

Time flies. People changes. Edison sibuk dengan kuliah dan kerja sambilannya. Dan Vincent sibuk dengan pekerjaan shiftnya.

They never met again for years, even if they’re living on the same block. Hingga Edison meneruskan tahun terakhirnya di Malaysia. Dan Vincent merantau ke pulau lain.

They have nothing. They’re fighting for they own destiny. Only a mother’s pray that always beside them.

Time after time... Every memory. It’s all fading away.

 

27.

Keith mendengus dalam kesal tertahan. “Sorry, your credit card is refused.”

Pria itu terheran. “Limitnya habis?”

“No. This store is refusing your credit card and also your sold-shiny-ass. Dasar pecun amatir! Berani-beraninya bawa credit card sugar-daddy elu ke spot kekuasaan gua!” Kata Keith dalam hati.

“Yep. Limit anda habis. Better luck next time!” Jawab Keith enteng. Lalu Pria itu pergi sambil menggaruk kepalanya.

“Keith, black-suit ini ada ukuran buat gua enggak ya?” tanya seorang pria lainnya.

Keith menghampirinya. “Edisooon! Kangen! Setahun ngilang kemana aja?!”

Edison terkekeh. “Haha. Gua di Malaysia setahun kemarin. Nih barusan lulus kuliah.”

“Ughh! I’m so proud of you! I wannabe like you when I grow up,!”

“Haha. I’ll pray for that. Udah lama kerja disini?”

“Baru sebulan. Sementara aja kok. Tiga bulan dan baru bisa beli iPad baru. Hohoho.”

“By the way, ada enggak ini Suit-nya ukuran gua?

“Adaaa. Tinggal satu nih. Bloody time! Satunya lagi baru dicoba orang di fitting room. Aku ambilin dulu ya.”

Lama Edison tercenung memandangi dirinya dicermin itu. Tak menyangka dirinya akan sampai di level ini. Memandangi lama Black-Suit itu dengan haru.

“I’ll take it !” sahut dua suara yang keluar dari fitting room bersamaan.

Mereka saling memandang. Head to toe. Body-checking.

“Vincent…?”

“Edison…?”

“Oh no, gay-cat-fight scene? Dolce versus Gabbana! Oh no!” Keith tambah heran ketika mereka malah berpelukan kemudian.

“We will take it!”

Keith memasang senyumnya lebar. Double transaction, double bonus. “D&G loves you guys!”

--

Dua pria dewasa itu mengunyah mini-bun mereka didepan etalase Cartier dalam balutan black suit yang mereka beli barusan.

“Where have you been?” pandangnya nanar.

Vincent tertawa kecil. “Di Kalimantan. Gua sekarang boss Mie Singkawang lho. Buka franchise dimana-mana. Ntar makan ditempat gua ya. And you, how have you been?”

“Just signed my contract as creative director di Insane-clothing line.”

“Wow, that’s huge!”

“Yep. Nothing’s stronger than a mother’s pray.”

“I’m so proud of you, Vince. You’re always the good kid.”

“So do I. Thanks for being the bad kid, and fighting for what you believe in.”

“Don’t you love that Cartier Steel-watch?” tanya Vince.

“Let’s make another promise. Shall we buy it next three years? The same date?”

“Abso-fucking-lutely.” Jawab Vince.

“Haha! Now who’s the bad kid?!”


by.C

Minggu, 15 Mei 2011

Chapter 54 : He’s Flying Solo.


to the moon and back.

“I hate wedding party! And I hate flying solo!”

That was Melvin. Itu tweetnya barusan. Dan sekarang lagi ngeluh ga brenti-brenti di pesta temennya lewat messenger ke saya.

“Ngapain juga elu pake datang kondangan segala sih? Gua aja males!” balas saya.

Ngapain coba? Setelah high-school drama berlalu enam tahun lamanya, tiba-tiba semua teman elu pada nyebar undangan nikah.

April brides. August grooms. November weds. BLEH! Dan mau enggak mau, harus datang setor muka biar dikira enggak ngilang dari peradaban.

“Paling males kalo ditanyain ‘sekarang kehidupannya gimana?’ kinda question deh. Itu antara dia kepo, atau mau bandingin kehidupan gua sama kehidupan dia.” Bener juga kata Melvin. I hate that, too.

“Dan?”

“Dan gua lagi nangis sesenggukan di toilet sekarang. Be right back. Talk to you later.”

Ga heran sih. Wedding can bring me tears. Antara terharu. Atau miris ngeliat kenyataan bahwa saya enggak bakalan pernah berdiri di altar itu.

Lima menit kemudian… “Really Chris. Cuma gua yang single disini!”

Melvin. Apes bener ini anak. Seumur hidup, dia enggak pernah absen punya gandengan. Lowong semingu, langsung jadian lagi. Lowong sebulan? No way, baby!

Nah sekarang lagi apes. Pas banget yak, pas nikahan temen SMA nya ini dia pas single. Pas enggak ada yang mau diajak jadi plus-one dia. Dan kalaupun dibawa, apa kata dedengkot masa lalunya? Serba salah!

“Maksud elu apa sih?” saya pura-pura enggak tahu ahh.

“Temen cewe gua yang gendut, tunangannya cakep. Temen cowo gua yang bantet, udah punya anak dua. Kepala sekolah gua aja udah nikah buat kedua kalinya! Is this some kind of wedding practical joke?!” Okay. Poor you. LoL

“I hate these scenes!” lanjutnya.

“Udah deh ya. Baru ngejanda lima hari doang. The best thing comes in the end.”

“No. All good things come to an end! Sumpah! I was the cutest boy in my school. Now I ended up alone in their eyes?! Catastrophic!”

It kinda hit me on my face. Twice.

 

all the single boys.

Genap hari kedelapan. Melvin masih single.

“Omigad! Salute!” toast kami berempat.

Oh btw, kami lagi di pesta kecil-kecilannya si Wesley.  He creates ‘Single Boy Party’.

Syarat nomor satu : harus single dan enggak pake baju hitam.

Judul invitation card-nya : Dedicated to all the single boys!

Alih-alih cari partner diumur dia yang udah tigapuluhan, si pemilik coffee-shop kesayangan kita ini tetep betah melajang.

“I’m marrying myself. Is that any better choice? Cheating is my agenda. Playing around is my hobby. No divorce letter. No guilty feeling. Toast to myself!” Yay! We love Wesley! Smooch!

“Elu engga pernah merasa hampa ya, Wes? Gua aja engga ada pacar seminggu, rasanya hampa loh. No one dates me anymore!” Tanya Melvin. Hadehhh nih anak.

“Damn you, hunger crotch! Bukannya elu udah makan semua? Kehabisan stock udahan!” Sentak Keith.

“My last relationship was a mess. Sekarang gua sadar, kalo gua ngerasa lebih hidup pas single, kenapa engga gua terusin aja? Your happiness is my emptiness. Your emptiness is my happiness.” Terang Wesley.

“Sumpah ya, gua sedih banget pas dikawinan temen kemarin. Rasanya kok gua ini bakalan ditinggal orang yang gua sayangin terus. Sakittt.” Melvin masih enggak terima.

“Melv, Suatu hari gua terbangun dengan kondisi begini. Tua. Sendiri. No Family around. Look at me. I’m old, but I’m happy. I’m not alone. Be surrounded by love from my friends.” Ahh… Wisely Wesley.

Melvin mulai agak tenang. “Chill out! Makanya gua adain ini single boy-mini party! Biar elu-elu pada nemu satu sama lainnya.”

--

Di mini party itu saya dan Wesley mojok berdua di balkon apartmentnya. Ngerokok bareng sambil cerita apa aja. “Are you really happy?” tanya saya.

“Seminggu ini temen-temen facebook gua profile picturenya pada foto pre-wed mereka. Foto kawinan mereka. Foto bayi mereka. Foto keluarga mereka. Menurut elu, Chris?”

Saya angkat bahu. “Ermm…”

“Tiap orang itu punya cara pandang sendiri-sendiri soal kebahagiaan.”

Wesley menghisap rokoknya dalam. “Friends getting married. Friends having kids. They’re chasing their rainbow. And I’m getting closer to be the happiest men on earth by days. With my own way.” Lanjutnya.

Saya langsung trenyuh. “I see happiness, there.”

Wesley tertawa lebar. “I’m flying solo. And I don’t give a damn.”

Toast!

 

By.C

 

Selasa, 03 Mei 2011

Chapter 53 : The Broken Remote


Low Battery.

Gavin melempar handphonenya ke sofa. Diujung sana masih terdengar suara Ethan ngamuk-ngamuk. “Don’t you dare to hang up this phone, you ungrateful ho!”

Kami cuma diem. Lomba diem sama Gavin yang melipat tangannya ke dada. Lomba diem sama Hape yang teronggok disana. “Halo? Gavin! Halo?!”

Sepuluh menitan adegan barusan berlangsung. Sebelum batre hapenya abis dan mati sendiri. “Lu pada ya saksinya, gua ga tutup telepon dia. Tapi karena hape gua lowbatt.”

“Sama kaya relationship elu sama dia kan. Low battery.” Celetuk Keith. Mampus nih anak, mulutnyaaa!

Gavin langsung mewek. “Huhuhu… Bener banget lu Keith. Gua udah enggak kuat sama dia!”

“Emang ada problem apa sih?” tanya saya.

“Banyak. Kecil-kecil. Tapi berakumulasi jadi masalah gede. Tiap hari tengkar. Tiap tengkar ngungkit. Tiap ngungkit ujungnya emosi! Rawwrrr!”

“Gua kenal Ethan. Emosinya gede, belum lagi ego dia. Harusnya sama elu yang super sabar ini, dia jadi netral kaya elu. Lha ini kok makin parah?” Cyrus heran sendiri.

Saya pernah ngungkapin teori Yin & Yang ke dia. Bahwa semua butuh keseimbangan.

Yin&Yang. Salt and Pepper. Black needs White. Days turn into nights.

And it takes two to tango.

“Dan teori elu ternyata salah, Chris! Yin and Yang. Salt and Pepper. Well, all I want is double vanilla ice cream! Gua butuh orang yang sifatnya sama persis kaya gua!” Duh. Jadi nelen ludah sendiri.

“Terus kenapa elu engga putusin aja? Daripada elu engga hepi begini? Huh? Huh?” Keith memang paling gerah kalo ngeliat orang engga tau apa yang dia mau.

“Cuz deeply inside, gua masih percaya ini semua masih bisa diperbaiki. Ethan juga mikirnya gitu.” Gavin masih sesenggukan.

“Your relationship is dead! But you guys are pretending that it’s still alive! EPIC!” pekik saya.

Gavin masih seumur kita. Waktu SMP dan SMA dia jadi ketua OSIS. Waktu kuliah jadi ketua BEM. Si Ketua ini kayanya teges dan pinter ngambil keputusan ya.

But when it comes to love, he turns into a dumb-dumb. He can’t even decide the simplest thing!

“It’s like broken remote, yah. When the batteries in the remote are dead, why do we keep pushing the button until our fingers hurt?” Word! Tumben Cyrus pinter.

Gavin terdiam lagi. “Should I end it?”

Kami bertiga kompak manggut. “No doubt.”

 

No Battery.

Ternyata percuma! Gavin sama Ethan cuma putus enggak lebih dari enam jam. Mereka balikan lagi. Ngucap janji-janji manis ‘bakal berubah’ lagi. Blehh.

“Bener kata Ethan, kita enggak butuh perang. War is easy to start. Hard to end. And impossible to forget. Solusi selalu ada kok.” Kami tercenung.

Lah kok udah kaya dicuci otaknya ya ini Gavin? Jadi kaya dua muka begini.

Keith ngakak spontan. “Honey, if you’re not part of the solution, then you are part of the problem.” Saya langsung sikut perutnya buat mingkem. Mau Ethan mencak-mencak kali ya!

Kita udah malesss banget ngeliat mereka di coffee-shop. Jadi pengen cepet pulang liat lovebirds beginian. Adegan biadab buat ordo single macam kita!

“Baby, aku pergi beli majalah bentar ya keatas.” Gavin pamit.

“Cepetan balik yaa, cutie-pie ku.” Hiyucckss.

Setengah jam si Ethan mulai panik. Mulai sibuk mencet-mencet hapenya. Mulai ‘haduh-haduh’ sendiri begitu tau si Gavin enggak jawab telepon dia.

“Gavinnn! Kamu pasti lagi sama orang lainnn!” tuduhnya ke hape bernada tulalit tanpa dosa.

Keith berbisik. “It’s like he’s screaming out loud : Where’s my remote when I need it mossstt?!!” Bahahaha. Saya terkekeh kecil.

“Low-batt kali dia. Atau batre hapenya mati.” Timpal Cyrus.

“Engga! Dia pasti lagi sama orang lain! Pasti janjian ketemuan! Pasti udah di luar mall deh ini! Gavinnn!” pekik dia lagi.

Lalu Ethan ngeloyor keluar dengan muka padam sambil marah-marah.

“Well…” saya speechless.

“Well… Kesimpulannya… They’re both crazy. They’re both don’t even know how to maintain a good relationship, I guess.” Simpul Cyrus.

I think Gavin and Ethan are the Yin to The others Yang. Gavin keeps Ethan grounded while he brings a little drama to his life. Funny!


--

“Where are we going after this, Lolita?” tanya Keith pada Cyrus.

“Ke gay bar. Mau cari remote ah. Ibarat Battery, gua ini udah full charged. Mubazir enggak dipake.”

Bener juga ya. Ikutan ah!

 

by.C