Minggu, 03 Juli 2011

Chapter 57 : Dynasty

1st July 2011

Suhi – 8 tahun

Suhi terbangun dengan hati kelu dan tubuh biru. Batinnya remuk tak karuan pagi itu. Bingkai foto retak masih dalam pelukannya. Pertanda apa yang terjadi semalam bukanlah mimpi. Murni elegi.

Sudah jam enam. Dia harus mandi, untuk kemudian berangkat sekolah.

Ibunya tahu-tahu sudah dibelakangnya. Mengoleskan pomade pada rambutnya sambil menyisirnya lembut dan rapi. “Maafkan Papamu ya, Suhi…” isaknya sendu.

Suhi kecil mati-matian menyembunyikan butiran pertama disudut matanya sambil mengangguk. Mencoba tersenyum kecil. Dalam pantulan kaca itu, dua sosok berbeda generasi ini menyimpan lukanya tersendiri.

“A-auw..” pekiknya pelan sambil melindungi lengannya.

“Hari ini pakai sweater dulu ya… Biar biru-biru di badan Suhi nggak kelihatan.” Kecup Mamanya, sambil kemudian merelakan anaknya berlalu diantar sopir ke sekolahnya.

“Dan maafkan Mama karena semalam hanya bisa terpaku diam melihatmu dipukuli Papamu…” lirihnya dalam hati.

 

Suhi – 13 tahun

“Mama…” raihnya dalam rintih. Terbujur di lantai dengan raut pilu. Ketakutan sekaligus asa masih tersirat dari mata lebamnya.

Rossie berulang kali menampar tubuh suaminya yang mencegahnya menolong buah hatinya disana. “Biar! Biarkan saja dia mati sekalian! Satu-satunya penerus keluarga, tapi bisanya cuma bikin malu marga kita saja! Mati saja dia!”

“Hanya karena dia mencoba memakai sepatuku? Lalu kau pukuli dia seperti anjing tiap malam?!” Rossie menampar suaminya lagi, walau suaminya tak pernah sekalipun membalas tamparan itu.

“Bukan masalah sepatu! Tapi kau tau dia mahluk macam apa?! Kau tahu itu? Dari kecil kelakuannya sudah seperti anjing betina! Mati saja kau Suhi!”

“Lupakan rasa kecewa besarmu dan harapan besarmu padanya! Biarkan dia hidup seperti yang dia mau! Kau tak berhak secuilpun atas hidupnya! Tak secuil pun!” lirihnya dalam.

“Dia puteraku! Anak lelakiku!” tambah Rossie sambil bersungut-sungut.

“Bagus kau sadar! Dan mulai sekarang, perlakukanlah dia sebagaimana kau sebut dia barusan : ANAK LELAKI KELUARGA SOE!” pekik suaminya lantang sambil berlalu ke kamar.

Malam itu hingga subuh, Rossie memeluk tubuh Suhi dalam ranjang. Menyanyikan senandung malam sambil tak henti membisikkan kalimat-kalimat insepsi.

“Kau generasi berikutnya… Kaulah harapan kami. Kaulah pewaris harta dan marga kami. Kaulah alasan kami tak dimaki leluhur kelak. Jadilah seperti yang kami mau… walau berat.” Ulangnya puluhan kali dalam bisikan kecil hingga suhi tertidur.

 

Suhi – 18 tahun.

“Mom… Do you love me?” tanyanya pada anonim. Sambil memandang Rossie yang sedang merangkai bunga disana.

Suhi sudah hapal betul jawabannya. “Suhi... Telling how much I love you is like trying to explain colors to a blind person, completely impossible.”

Atau terkadang Rossie menjawabnya dengan senyum panjang. “Trying to explain how much I love you is like trying to explain the taste of water.”

“Suhi. Kau sudah siap nanti malam?” sosok itu bertanya dingin. Tak sehangat bertahun lalu.

Suhi hanya mengangguk. “Ya Mom…”

“Sudah lupakan saja keinginanmu kuliah seni. Papamu betul, kau harus masuk jurusan bisnis. Masa depanmu sudah kami rancang. Tinggal kau jalankan.” Suhi mendengarnya tanpa jeda. Seperti kaset yang diulang berulang kali.

“Nanti malam pakailah kemeja terbaikmu. Semua keluarga besar Mama undang buat pesta farewell-mu. Lusa kan kau sudah ke London. Sudah kau siapkan?”

Suhi termenung –

Mama. Aku rindu padamu. Rindu membawakan belanjaanmu sepulang dari supermarket. Rindu melihatmu menyisir rambut panjangmu. Rindu ikut tertawa menang bersamamu ketika berhasil membuat variasi cake baru. Rindu wangimu. Itulah yang aku takutkan, kehilangan ingatanku akan aromamu. Bukan bunga, cukup aroma hangat dan membumi-mu yang kental.

Mama. Andai aku bisa mengingat jelas rupa membran yang tersobek akibat melahirkanku. Andai aku bisa mengingat jumlah bantahan yang menyayat hatimu. Andai aku bisa menjelaskan setiap kerutan pada wajahmu, disitulah memori tersimpan, cerita sedih dan bahagia karena aku. Aku takut tak bisa mengingat senyum di wajahmu. Senyum indah, tertutup rapat, namun menghanyutkan. Bukan senyuman lebar dengan deretan gigi rapi terlihat. Cukup sesimpul senyum yang terasa melegakan dan membuatku tersenyum kembali kepadamu.

Aku takut tak bisa menjadi seperti yang kau inginkan. Menghancurkan setiap mimpimu satu persatu.

Aku bukanlah sosok yang bisa memberikanmu menantu dan cucu-cucu kecil berisik yang membuatmu lebih bahagia. Bukan pula sosok fantastis yang sukses dalam berbisnis seperti Papa.

Aku bukan pria yang bisa menjagamu dengan gagah bisa melapisimu dengan benteng sempurna. Namun yakinlah, akulah pria yang mencintaimu. Anak kepada Ibunya, cinta tanpa persyaratan apapun.

Aku memimpikan masa kecilku tiap malam. Kau peluk dan kau tenangkan. Maka dari itu aku bertahan. Menunggu sang waktu menaburkan kesempatan pada kekosongan kita, hingga menghangat kembali. –

“Iya Mom…” angguknya sambil melihat Rossie berlalu.

 

Better Generation.

“What is this seminar about, once again, Mom?” tanya Keith pada Mamanya, Lilith.

“Fight for your gay son!” kepalnya semangat.

“Ah... Ring a ding-ding…” Keith mulai bosan menunggu acara tak mulai-mulai.

“Son… No matter what happen and what you do in the future, I will still love you… okay?”

“Mom… U are the kid in the family. This seminar should be titled : twisted dynasty. Atau kalau mau lebih epic, dikasih judul aja skalian : Fight for your childish-single Mom.”

“Damn u, Keith. Damn u.” Lilith menyembunyikan tawa kecil itu, tak mau membiarkan anaknya menang perang sarkas kali ini.

“Pssst. Udah mulai tuh. Keep quiet!” sahut Keith.

--

“Suhi… Anak saya, meninggal empat tahun lalu. Dia bunuh diri, memotong kedua pergelangan tangannya didepan kami satu keluarga besar pada pesta farewell itu. Nyawanya tak tertolong.” Ucap seorang wanita didepan mimbar.

“Setahun setelahnya saya merenung, bersembunyi dalam cangkang saya sendiri. Berpisah dengan suami saya walau tak bercerai. Membiarkan leluhur memaki keteledoran saya. Membiarkan masyarakat mengira-ngira apa yang terjadi sebenarnya… Pikiran saya hanya tertumbuk pada rasa bersalah yang amat besar.”

Lilith dan Keith tercenung. Begitu pula penonton lainnya.

“Satu hal yang saya sadari… Saya tak cukup berjuang untuknya seumur hidupnya. Saya menjejalinya dengan segala kenormalan yang ada di khalayak umum. Sedangkan saya sendiri tak mengerti, apa arti normal sesungguhnya. Saya… Saya membentuknya menjadi monster yang dia sendiri tak mengenalinya.”

“Kita… Dalam hidup ini, sudah banyak melakukan kesalahan. Jangan sampai menghakimi mereka menjadikan itu kesalahan paling fatal bagi kita. Berjuanglah untuk mereka, karena itulah tugas kita. Bukan memperjuangkan ego kita.”

“Saya, berdiri disini, berjanji sampai ujung hidup saya akan berjuang menyuarakan suara Suhi yang tak pernah terucap hingga akhir hayatnya. Dimana Suhi tak pernah melawan sedikitpun. Dia mengalah, tapi bukan kalah. Karena dia mencintai keluarganya. Sekarang giliran saya mencintainya penuh, tanpa ditutupi. Karena dia selalu berucap : When the world leaves, family stands.”

Lilith dan Rossie. Dua Ibu itu bercucuran air mata. “Keith... I never thought this story gonna bring your tears. Haha!”

“Moooom! Stop staring at me!” tutupnya.

Rossie melihat adegan itu sambil tersenyum. Mengangguk pada Lilith dan mengirimnya pesan gerakan bibir dari kejauhan. “Take good care of him.”

“That’s my job ;-)” sungutnya riang sambil mengacungkan jempol.

 

By.C

Minggu, 29 Mei 2011

Chapter 56 : The Leftover


The goddamn column.

“What’s your size?” saya ndomblong. Ndomblong kenapa yang barusan ga bisa masuk. Enggak muat. Too small for my hole. Too big to fit on me.

“So what’s your size?”

“Ermm… Medium aja deh Mbak. Yang Small ga muat. Tetep yang merah ya warnanya.”

“Bentar ya Koh, saya ambilin ukuran M nya. Jeans nya muatkah?”

“Sekalian 30 deh. Yang 28 kekecilan. Hehe. Thanks!”

Saya langsung tutup pintu fitting room.

--

“Ini tanggal berapa, Cy?”

“Lima belas. Kenapa?”

“Crap! I only have two goddamn weeks to loose five kilos.”

 “Yea, I can see that muffin top. Antara mau mbludag dari celana, atau minta dikenyot vacuum cleaner. Ini apaaa?!” Cyrus dengan lancangnya menggenggam pinggang saya.

“Shooh! I eat, so I wont fall in love. You shall clap for me!”

“Oh, sekarang prinsip elu ‘goodbye love, now I fall in chocolate’? Huh?”

“Ok. Judge me. Judge for eating my emotion. Judge me for not trying watch my own figure. I just don’t wanna be fatty on my birthday!”

Cyrus menggapai kaus ketat berukuran S itu. “Lolita, the most useful and effective pill to lose weight is… well… SEXCERCISE ! It burns, it helps. Make some sweat, baby!”

Mata saya memicing. “Magnificent. This desperate and single boy gotta fuck a treadmill machine tomorrow. Thanks for your hilarious advice.”

“Don’t I look sexy on this V-neck SMALL size shirt?” tanyanya menekan.

“I’ll kill u now.”

--

Okay. May 29 would be my birthday. I am so freaking out about my age. My twenty-frickin-four age. I’m aging!

I would be at “LeftOver” column.

Di kolom itu, percaya enggak percaya, berisi pria berumur 24-29 yang ‘lagi-enggak laku-lakunya’. Yang 24 kalah sama 23 kebawah. Yang 29 lagi harap-harap cemas nungguin jadi hot-hunk at his thirties.

So where do I go after May 29th? Leftover column. Fuck. Fuck my life.

“How old are you?”

“Twenty six.”

“I see I see.”

And the chat is over. Saya udah bisa bayangin hal-hal yang bakal menimpa saya.

Mau dipanggil sinyo juga enggak pantes. Mau dipanggil koko juga ga pantes. Mau dipanggil engkoh juga saya bukan juragan sembako.

Satu masalah belom selesai, sekarang malah nambah gendut! “Universe, did you just send me some messages that I would ended up miserably on my LEFTOVER ERA?”

“No. It can’t be happen to me. Damn you chocolate bar. Damn you to hell! You and your friends calories are little monsters who made my clothes smaller.” That night, I toss my last choco-bar in my trash.

 

The Bird Shit and The Bee.

“Do I have bird-shit on my face?” tanya Kevin.

“Huh? No. Why?”

“Terus kenapa semua orang ngehindarin guaa?!”

Saya ngakak. “Nooo Kev, you’re just cute. As usual.”

“No dearest. I might be cute but I’m twenty-eight. Kemarin gua chat sama orang di grindr, ternyata dia cuma nanya begini : kamu pake foto lima tahun lalu ya? Enggak percaya ah kalo kamu umur 28.”

“That’s… such a relieved!”

“That’s humiliation!”

“Kan elu dipuji awet muda..! Gimana sih?”

“Kaga! Gua marah! Marah besar! Gua maki-maki itu orang! I built this slimy-20years old-body for years. I’m using anti aging cream every night. But the point is, gua engga pernah nutupin umur gua. Gua bangga kalo gua tua! Dan dia enggak percaya!”

Saya garuk-garuk kepala. Absurd bener partner gym saya yang satu ini. Mati-matian buat kelihatan awet muda, tapi suka kalo dibilang tua. It’s a big ‘HUH?’

“Okay… So?” saya oper burbles ke dia.

“Okay so…! Gua udah sejauh ini berusaha, tapi kenapa gua masih single?! Udah tiga tahun gua single! I’m oldie, but im goodie !!”

Saya berkaca didepan kaca besar di gym. “Well honey, say hi to ‘Leftover Ville’. Population? Us.”

--

“Nyo, lu habisin tuh sisa makanan tadi sore. Sayang kalo dibuang.”

“No way. Noo. Waay. I’m the leftover already, I don’t want to eat some leftover too.”

“Huh?” Mama saya ndomblong.

Oh by the way, welcome back S & 28 size =)

 

 

By.C

Kamis, 19 Mei 2011

Chapter 55 : Good Kid / Bad Kid

17.

Ten years in the past, there were two kids. Temenan dari kecil, hidup satu kompleks di perumahan kecil, Ibu mereka sama-sama janda, dan disekolahin di sekolah yang sama.

Edison is a bad kid, Vincent is the good kid.

Edison is the brave one, strong character, and bad temper.

Vincent is the opposite : weak, innocent, and naïve.

They share everything together : meals, toys, moment, sometimes money.

Mereka bahkan sepakat buat kerja sampingan selepas sekolah di toko sepatu. “We know we can’t afford it, but at least we can touch it anytime. Let’s pretend that we have these zillion shoes!” Ucap Vincent, sambil terkagum memasukkan sepatu baru dalam dus.

Edison malas bermimpi. “Yeah. You better hurry. Jatah stock gudang udah mau kelar nih.”

Hari ini mereka pulang awal, sekalian nerima gaji bulanan. “Gua mau kasih setengahnya ke Mami. Buat dia beli tas baru.” Bisiknya pada Edison.

“Kalo gua sih mau gua tabungin semua. Ntar ujungnya malah tengkar sama Mami yang nanya-nanya gua kerja dimana. Sekalian nabung buat uang muka kuliah fashion-design taun depan.” Bisiknya balik.

“Egois amat lu. Bad kid!” seru Vincent.

“Biarin!”

Edison menyenggol bahu teman baiknya. “Hari ini makan rotinya didepan etalase Dolce & Gabbana aja yuk. Gua bosen makan didepan etalase Lanvin.” Vincent mengangguk.

Disanalah mereka. Mengunyah perlahan setangkap roti dalam genggaman sambil melihat satu stel ‘D&G Classic Black Suit’ sambil terkagum. “To afford that, maybe I have to sell my motor-bike first.” Katanya pada Vincent.

“You have such a good taste, Ed! Gua juga mau satu. Janji ya… Someday kita beli kembaran. Pas kita umur 27, mungkin?”

“Deal!” Edison tersenyum lebar.

“Let’s go to Cartier. Gua bawa roti satu lagi buat elu. I want to feel like Holy Golightly tonight. She’s doing Breakfast at Tiffany’s. We’re doing dinner at Cartier’s.”

Edison ngakak. “For another free bread, it’s hard to say no. Let’s go!”

There were two boys. Staring for stuffs that they dreamed of. Wishing that something they could have it. Someday. Someway.

 

18-26.

It’s been a year. Edison is still the bad kid, and Vincent is still the good kid.

“Gua enggak jadi kuliah, Ed. Mungkin mau bantuin Mami cari uang aja.”

Edison shock. “Tapi elu harus kuliah! Fashion designer, that’s our dream!”

“Udah, enggak apa-apa. Gua terima takdir gua kok. Gua udah putusin begitu.” Vincent menahan tangisnya.

“Shit! Andai gua bisa bantuin elu biayain kuliah, gua pasti bantu.”

“Udah, elu kuliah aja yang bener. For a long time, you’ve been a rebel one to your Mom. Now promise me, someday elu bakal berbakti sama dia. Itu aja gua minta sama elu.”

Edison memeluknya. “Terus elu gimana…?”

“I’m a big kid. I’ll figure it out.” Bisiknya lirih.

Time flies. People changes. Edison sibuk dengan kuliah dan kerja sambilannya. Dan Vincent sibuk dengan pekerjaan shiftnya.

They never met again for years, even if they’re living on the same block. Hingga Edison meneruskan tahun terakhirnya di Malaysia. Dan Vincent merantau ke pulau lain.

They have nothing. They’re fighting for they own destiny. Only a mother’s pray that always beside them.

Time after time... Every memory. It’s all fading away.

 

27.

Keith mendengus dalam kesal tertahan. “Sorry, your credit card is refused.”

Pria itu terheran. “Limitnya habis?”

“No. This store is refusing your credit card and also your sold-shiny-ass. Dasar pecun amatir! Berani-beraninya bawa credit card sugar-daddy elu ke spot kekuasaan gua!” Kata Keith dalam hati.

“Yep. Limit anda habis. Better luck next time!” Jawab Keith enteng. Lalu Pria itu pergi sambil menggaruk kepalanya.

“Keith, black-suit ini ada ukuran buat gua enggak ya?” tanya seorang pria lainnya.

Keith menghampirinya. “Edisooon! Kangen! Setahun ngilang kemana aja?!”

Edison terkekeh. “Haha. Gua di Malaysia setahun kemarin. Nih barusan lulus kuliah.”

“Ughh! I’m so proud of you! I wannabe like you when I grow up,!”

“Haha. I’ll pray for that. Udah lama kerja disini?”

“Baru sebulan. Sementara aja kok. Tiga bulan dan baru bisa beli iPad baru. Hohoho.”

“By the way, ada enggak ini Suit-nya ukuran gua?

“Adaaa. Tinggal satu nih. Bloody time! Satunya lagi baru dicoba orang di fitting room. Aku ambilin dulu ya.”

Lama Edison tercenung memandangi dirinya dicermin itu. Tak menyangka dirinya akan sampai di level ini. Memandangi lama Black-Suit itu dengan haru.

“I’ll take it !” sahut dua suara yang keluar dari fitting room bersamaan.

Mereka saling memandang. Head to toe. Body-checking.

“Vincent…?”

“Edison…?”

“Oh no, gay-cat-fight scene? Dolce versus Gabbana! Oh no!” Keith tambah heran ketika mereka malah berpelukan kemudian.

“We will take it!”

Keith memasang senyumnya lebar. Double transaction, double bonus. “D&G loves you guys!”

--

Dua pria dewasa itu mengunyah mini-bun mereka didepan etalase Cartier dalam balutan black suit yang mereka beli barusan.

“Where have you been?” pandangnya nanar.

Vincent tertawa kecil. “Di Kalimantan. Gua sekarang boss Mie Singkawang lho. Buka franchise dimana-mana. Ntar makan ditempat gua ya. And you, how have you been?”

“Just signed my contract as creative director di Insane-clothing line.”

“Wow, that’s huge!”

“Yep. Nothing’s stronger than a mother’s pray.”

“I’m so proud of you, Vince. You’re always the good kid.”

“So do I. Thanks for being the bad kid, and fighting for what you believe in.”

“Don’t you love that Cartier Steel-watch?” tanya Vince.

“Let’s make another promise. Shall we buy it next three years? The same date?”

“Abso-fucking-lutely.” Jawab Vince.

“Haha! Now who’s the bad kid?!”


by.C

Minggu, 15 Mei 2011

Chapter 54 : He’s Flying Solo.


to the moon and back.

“I hate wedding party! And I hate flying solo!”

That was Melvin. Itu tweetnya barusan. Dan sekarang lagi ngeluh ga brenti-brenti di pesta temennya lewat messenger ke saya.

“Ngapain juga elu pake datang kondangan segala sih? Gua aja males!” balas saya.

Ngapain coba? Setelah high-school drama berlalu enam tahun lamanya, tiba-tiba semua teman elu pada nyebar undangan nikah.

April brides. August grooms. November weds. BLEH! Dan mau enggak mau, harus datang setor muka biar dikira enggak ngilang dari peradaban.

“Paling males kalo ditanyain ‘sekarang kehidupannya gimana?’ kinda question deh. Itu antara dia kepo, atau mau bandingin kehidupan gua sama kehidupan dia.” Bener juga kata Melvin. I hate that, too.

“Dan?”

“Dan gua lagi nangis sesenggukan di toilet sekarang. Be right back. Talk to you later.”

Ga heran sih. Wedding can bring me tears. Antara terharu. Atau miris ngeliat kenyataan bahwa saya enggak bakalan pernah berdiri di altar itu.

Lima menit kemudian… “Really Chris. Cuma gua yang single disini!”

Melvin. Apes bener ini anak. Seumur hidup, dia enggak pernah absen punya gandengan. Lowong semingu, langsung jadian lagi. Lowong sebulan? No way, baby!

Nah sekarang lagi apes. Pas banget yak, pas nikahan temen SMA nya ini dia pas single. Pas enggak ada yang mau diajak jadi plus-one dia. Dan kalaupun dibawa, apa kata dedengkot masa lalunya? Serba salah!

“Maksud elu apa sih?” saya pura-pura enggak tahu ahh.

“Temen cewe gua yang gendut, tunangannya cakep. Temen cowo gua yang bantet, udah punya anak dua. Kepala sekolah gua aja udah nikah buat kedua kalinya! Is this some kind of wedding practical joke?!” Okay. Poor you. LoL

“I hate these scenes!” lanjutnya.

“Udah deh ya. Baru ngejanda lima hari doang. The best thing comes in the end.”

“No. All good things come to an end! Sumpah! I was the cutest boy in my school. Now I ended up alone in their eyes?! Catastrophic!”

It kinda hit me on my face. Twice.

 

all the single boys.

Genap hari kedelapan. Melvin masih single.

“Omigad! Salute!” toast kami berempat.

Oh btw, kami lagi di pesta kecil-kecilannya si Wesley.  He creates ‘Single Boy Party’.

Syarat nomor satu : harus single dan enggak pake baju hitam.

Judul invitation card-nya : Dedicated to all the single boys!

Alih-alih cari partner diumur dia yang udah tigapuluhan, si pemilik coffee-shop kesayangan kita ini tetep betah melajang.

“I’m marrying myself. Is that any better choice? Cheating is my agenda. Playing around is my hobby. No divorce letter. No guilty feeling. Toast to myself!” Yay! We love Wesley! Smooch!

“Elu engga pernah merasa hampa ya, Wes? Gua aja engga ada pacar seminggu, rasanya hampa loh. No one dates me anymore!” Tanya Melvin. Hadehhh nih anak.

“Damn you, hunger crotch! Bukannya elu udah makan semua? Kehabisan stock udahan!” Sentak Keith.

“My last relationship was a mess. Sekarang gua sadar, kalo gua ngerasa lebih hidup pas single, kenapa engga gua terusin aja? Your happiness is my emptiness. Your emptiness is my happiness.” Terang Wesley.

“Sumpah ya, gua sedih banget pas dikawinan temen kemarin. Rasanya kok gua ini bakalan ditinggal orang yang gua sayangin terus. Sakittt.” Melvin masih enggak terima.

“Melv, Suatu hari gua terbangun dengan kondisi begini. Tua. Sendiri. No Family around. Look at me. I’m old, but I’m happy. I’m not alone. Be surrounded by love from my friends.” Ahh… Wisely Wesley.

Melvin mulai agak tenang. “Chill out! Makanya gua adain ini single boy-mini party! Biar elu-elu pada nemu satu sama lainnya.”

--

Di mini party itu saya dan Wesley mojok berdua di balkon apartmentnya. Ngerokok bareng sambil cerita apa aja. “Are you really happy?” tanya saya.

“Seminggu ini temen-temen facebook gua profile picturenya pada foto pre-wed mereka. Foto kawinan mereka. Foto bayi mereka. Foto keluarga mereka. Menurut elu, Chris?”

Saya angkat bahu. “Ermm…”

“Tiap orang itu punya cara pandang sendiri-sendiri soal kebahagiaan.”

Wesley menghisap rokoknya dalam. “Friends getting married. Friends having kids. They’re chasing their rainbow. And I’m getting closer to be the happiest men on earth by days. With my own way.” Lanjutnya.

Saya langsung trenyuh. “I see happiness, there.”

Wesley tertawa lebar. “I’m flying solo. And I don’t give a damn.”

Toast!

 

By.C