Rabu, 13 April 2011

Chapter 51 : In The Dark.


Martin.

What if your current relationship doesn’t go well?

Maybe Martin knows the answer. This 24 years old guy is standing. Standing alone in the dark. Didekat ranjang kekasihnya yang tertidur disana.

Sudah berminggu-minggu Martin bangun tepat jam tiga subuh. Pergi pipis ke toilet sebentar, lalu keluar dari sana. Berdiri agak lama memandangi ranjang sunyi itu. Sambil kemudian berakhir tersandar di sofa. Tertidur. Sampai pagi. Sampai dia tidak tahu hari apa pagi itu.

Terkadang dia menangis tanpa suara disofa itu. Perih. Kelu. Menggigil namun tak bisa apa-apa.

Pernah dia keluar dari kamar. Mengelilingi satu blok dalam balutan piyama tipisnya. Sendirian. Terkadang ditemani anjingnya, si Jack.

Pernah dia sampai tertidur didalam toilet, atau di bangku teras depan.

Pernah dia tertidur dengan laptop menyala, buku terserak, atau kadang seember Baskin menganga disebelahnya.

Martin has no clue. Martin has no words. Martin feels like… He’s not alive!

“Pernah elu ngomong jam tiga pagi ke ranjang elu.. : what the hell am I doing here?” ketiknya pada messenger saya.

“I have no idea.”

“Pernah elu bertanya-tanya… : Gua ngapain aja selama ini? Setahun ini? berpura-pura?!”

Saya makin engga ngerti Martin ngomong kearah mana sebenernya. Ditanya apa problem dia, jawabannya “I don’t even know what’s going on here!”

Tapi karena dia teman baik saya, ya sudah, sebatas nemenin dia chat aja. Mumpung saya juga udah resmi jadi mahluk nocturnal.

“Martin… Kalo elu ngerasa not alive anymore, why don’t you let it go? Why don’t you taking chances? Why don’t you decide? Why don’t you ... be brave?”

Martin enggak pernah ngasih jawaban yang memuaskan kalo ditanya ini. Ya sudah, saya bisa apalagi coba?

“Udah hampir jam lima. Gua balik ke ranjang dulu ya.”

“Okay. TTYL dear.”

Martin berhenti menderapkan kakinya. Berhenti sekitar semeter dari ranjang itu. Sambil memandangi wajah kekasihnya disana. Polos. Tak pantas disakiti. Dan tentunya membuatnya kadang bertanya. “What the hell am I doing… in this relationship?”

Martin sudah berbaring disebelahnya. Membelai alis tebal pria disebelahnya dengan lembut. Dia berusaha menahan sekuatnya gumpalan air mata yang hampir tumpah… sambil berbisik. “I don’t love you anymore…”

There. He said it. In the dark. In silence. To anonymous.

 

Morrison.

What if you don’t want anything moving to the next level?

Ask Morris. He knows what the answer is. This 25 years-old guy is now standing. Standing alone in the dark. Sambil memandangi ranjang milik pria yang baru dikenalnya semalam tadi.

Butuh sepuluh menit untuknya berkemas dalam senyap, menata ulang rambutnya, memakai rapi pakaiannya lagi, sambil kemudian pergi. Menghilang tanpa meninggalkan jejak bahwa dia pernah disitu.

Sebentar. Morrison harus berputar balik sebelum dia benar-benar menutup pintu depan. Lalu dia ke ranjang itu lagi, sambil menaruh selembar seratus-ribuan didekat meja dan berbisik ke telinga pria itu. “You bought me a drink doesn’t mean you can buy me for a night. Thanks for the great sex.”

Morrison melenggang dalam dingin malam itu. Tersenyum sendiri sambil menyeruput pelan CHEAPpuccino panas murah yang barusan dia beli di toserba 24jam seberang apartment barusan.

He’s broke that night, but at least he’s not going to break any heart in the future.

“I gotta admit, that’s classy!” pekik saya ke dia.

“Yea. Hope I don’t see that guy anymore. He’s sooo gonna kick me in the ass.”

Morrison pernah cerita ke saya. Siapapun yang pernah deketin dia, ujungnya dia sendiri yang menghilang. Kenapa? Karena dia tahu dia enggak bakal sukses dalam suatu hubungan serius.

“I tell you what, I’m not good to maintain people and I’m not into drama. So… Here I am. Free as bird.”

Dia berbisik lagi. “Don’t play with fire if you don’t know how to stop it. Or you will get burn.”

Noted. =)

 

Martin & Morrison.

Kedua pria itu berdiri berseberangan. Bugil. Saling sibuk bertanya dalam hati mereka, dalam kegelapan.

“Kamu mau kemana?” tanya Martin yang menangkap sosok Morrison hendak beranjak dari tempat itu.

“It’s one night stand. And this is your house. So… I have to leave before your official partner back in.”

“He’s not gonna back for two days. Don’t worry.”

“Kamu sendiri kenapa bangun jam tiga begini?” tanya Morrison balik sambil memakai boxernya.

“Abis dari toilet. Merenung. It’s my routine, bangun jam segini. Thanks for the beers by the way.”

“No problem. Hand me over my jeans, if you don’t mind?” pinta Morrison.

Martin mendekatinya. Menatapnya dengan mata basah. “Can you stay any longer? I’m afraid I can’t survive tonight.”

Disitulah mereka. Dengan jarak beberapa senti saja. Tiada yang melekat, hanya saling bertanya. Saling menerawang apa yang sedang terjadi.

“Are you okay?”

“I’m okay. I just don’t know what’s going on here.” Sendunya.

Morrison membuka kembali kemejanya. Memeluk erat untuk menenangkannya. “I know you’re not okay. But you have to know, everything is gonna be okay. Every drama has an ending. Sshh…”

Malam itu mereka tidur saling berhadapan. Hal yang tak pernah dilakukan keduanya dalam waktu yang lama.

Dalam pekat gelap malam itu, tak ada lagi ketakutan. Tak ada lagi prasangka. Tak ada lagi duka. Yang ada hanya rasa ketergantungan yang terasa baru bagi mereka.

Dan mereka terlelap hingga pagi. Bersama. Tanpa sekat. Dua ironi dalam satu ranjang.

Paginya mereka terbangun. Sambil kemudian berpisah, dan melanjutkan malam lain untuk tidur berhadapan punggung dengan sosok lainnya.

 

By.C

Tidak ada komentar: